
Penulis: S.Hendratno
Di Kepulauan Aru, para pekerja perikanan—baik yang bekerja di Unit Pengolahan Ikan (UPI) maupun yang menggantungkan hidup sebagai nelayan tradisional—menghadapi realitas hidup yang rapuh dan penuh ketidakpastian. Meski mereka menjadi tulang punggung ekonomi lokal, kesejahteraan justru menjadi sesuatu yang jauh dari jangkauan. Berbagai persoalan terus menghantui, mulai dari minimnya upah hingga hilangnya jaminan hidup akibat dampak perubahan iklim dan ketidakhadiran kebijakan yang melindungi.
Mayoritas buruh UPI di Aru bekerja tanpa kontrak yang jelas. Status kerja mereka berada di luar sistem ketenagakerjaan formal dan cenderung tak terdokumentasi. Dalam kesehariannya, mereka tak tahu pasti berapa banyak ikan yang akan diolah, kapan jadwal kerja dimulai, dan berapa upah yang akan diterima. Sistem kerja harian membuat penghasilan mereka sepenuhnya bergantung pada jumlah produksi. Tak ada standar gaji minimum ataupun kepastian kapan bayaran turun. Ketika pasokan ikan terganggu, pekerjaan pun bisa hilang kapan saja. Karena statusnya informal, mereka juga tidak masuk dalam jangkauan perlindungan sosial, jaminan kesehatan, atau asuransi kecelakaan kerja. Dalam rantai produksi perikanan, mereka hadir tetapi tak terlihat.
Kondisi kerja di UPI, terutama bagi pekerja perempuan, sering kali berlangsung dalam ruang lembap dan dingin tanpa alat pelindung yang memadai. Perusahaan-perusahaan berskala kecil dan menengah (UMKM) jarang menyediakan sarung tangan, sepatu pelindung, atau apron. Alat-alat pengolahan yang digunakan pun tak jarang jauh dari standar sanitasi. Kecelakaan ringan kerap terjadi, namun dianggap sebagai bagian dari pekerjaan sehari-hari. Jika pasokan ikan melimpah, mereka dipaksa lembur dengan bayaran lembur yang rendah atau bahkan tanpa dibayar, karena status mereka sebagai buruh harian. Rasa lelah, luka di tangan, dan nyeri otot menjadi teman sehari-hari.
Baca Juga : Di Balik Kilauan Ekspor, Nestapa Buruh Pabrik Perikanan Indonesia
Di sisi lain, nelayan tradisional menghadapi tantangan yang tak kalah pelik. Mereka seringkali kesulitan memperoleh bahan bakar bersubsidi karena kuota yang terbatas. Akibatnya, mereka terpaksa membeli bahan bakar dari pengecer dengan harga jauh lebih mahal. Dalam kondisi tertentu, nelayan bahkan memilih untuk tidak melaut karena biaya operasional tak sebanding dengan hasil tangkapan. Perubahan iklim memperparah situasi—arus laut yang tak menentu, curah hujan yang tinggi, dan peningkatan suhu air laut mengubah pola migrasi ikan. Nelayan harus melaut lebih jauh dengan risiko yang lebih besar, sementara hasil tangkapan semakin sedikit. Banyak dari mereka pulang tanpa hasil tetapi tetap menanggung beban utang untuk modal melaut dan kebutuhan sehari-hari.
Ketimpangan kuasa antara pemilik UPI, tengkulak, dan para pekerja—termasuk nelayan—sangat terasa. Para buruh tidak punya posisi tawar untuk menuntut kondisi kerja yang lebih layak di hadapan pemilik usaha. Begitu pula nelayan, yang harus menjual hasil tangkapan kepada tengkulak dengan harga yang ditetapkan sepihak, tanpa ruang negosiasi.
Dalam kondisi semacam ini, kehadiran pemerintah daerah dan lembaga terkait nyaris tak terasa. Pengawasan dan penyusunan kebijakan terkait pekerja informal nyaris tak menyentuh realitas di lapangan. Pekerja perikanan jarang dilibatkan dalam forum perumusan kebijakan, dan jika pun diundang, keterlibatannya sering bersifat seremonial semata. Diperlukan penguatan partisipasi dari bawah agar suara mereka yang bekerja di lapangan bisa benar-benar terdengar—terkait soal upah, keselamatan kerja, bahan bakar, maupun akses pasar.
Apa yang dihadapi pekerja perikanan di Aru tak hanya berkaitan dengan persoalan ekonomi, tapi juga menyentuh aspek hak asasi manusia. Mereka menuntut pengakuan—atas kerja mereka, atas keberadaan mereka dalam rantai pasok, serta atas hak-hak dasar sebagai warga negara. Mereka menjadi penopang industri perikanan, namun kerap disingkirkan dari proses pengambilan keputusan.
Cerita dari Aru adalah cermin dari kehidupan pekerja pesisir di berbagai tempat—kuat tapi dilupakan, penting tapi diabaikan. Yang mereka butuhkan bukanlah belas kasihan, melainkan sistem yang adil, kebijakan yang berpihak, dan perlindungan yang nyata. Langkah awalnya adalah mengakui kenyataan hidup mereka dan menjadikannya dasar dalam penyusunan kebijakan. Hanya dengan begitu, semua pihak yang terlibat dalam industri perikanan bisa diperlakukan secara layak dan bermartabat.
Baca juga : Zine – Suara Laut Volume 1 Hari Laut Sedunia – Sustaining What Sustain Us