Besar Potensi Pelanggaran HAM pada Awak Kapal Perikanan Asing

Berita ini di sadur dari: Besar Potensi Pelanggaran HAM pada Awak Kapal Perikanan Asing

BANDA ACEH, KOMPAS — Pelanggaran hak asasi manusia pada pekerja migran awak kapal perikanan asing masih terjadi. Pengawasan pasca-pemberangkatan awak kapal harus diperkuat agar perlindungan dan pemenuhan hak pekerja terjamin.

Hal itu mengemuka dalam diseminasi ”Kajian pengawasan ketenagakerjaan dan pelayanan dokumen pelatihan dan perizinan bagi pekerja migran awak kapal perikanan”, Senin (31/10/2022). Kajian tersebut dilakukan oleh Rumoh Transparansi di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara sebagai wilayah pembanding.

Direktur Rumoh Transparansi Krisna Akbar mengatakan, mereka menemukan adanya praktik pelanggaran hak asasi manusia pada awak kapal perikanan (AKP) asing asal Aceh. Misalnya, ada pekerja yang upahnya ditahan, jam bekerja di luar kesepakatan, dan penyiksaan menyebabkan kematian.

Baca juga: Saya Ingin Anak Pulang, Tidak Perlu Uang

”Negara tidak hadir melindungi awak kapal perikanan asing. Padahal pekerja migran penyumbang devisa bagi negara,” ujar Krisna.

Tim peneliti Rumoh Transparansi melakukan wawancara mendalam dengan para mantan pekerja migran AKP dan instansi pemerintah terkait. Dari hasil penelitian itu, Krisna menyimpulkan negara belum serius melindungi pekerja migran AKP.

Menurut Krisna, indikator ketidakseriusan itu terlihat pada ketidaktersediaan data jumlah pekerja migran asal Aceh. Pada instansi-instansi yang mereka datangi, seperti dinas perikanan dan kelautan, imigrasi, kantor syahbandar, dan badan perlindungan pekerja migran tidak tersedia data jumlah dan kapal tujuan.

Rumoh Transparansi mengumpulkan data sekunder. Pada April-Mei 2022 jumlah AKP dari Aceh diperkirakan mencapai 800 orang. Namun, Krisna memperkirakan jumlah sebenarnya mencapai belasan ribu.

Tidak resmi

Krisna menyebutkan, pekerja migran AKP itu berangkat melalui jalur resmi dan tidak resmi. Namun, resmi atau tidak, para AKP rentan mengalami pelanggaran hak asasi manusia. Beberapa orang mantan AKP yang ditemui berangkat dengan mengantongi izin lengkap, tetapi juga mengalami kekerasan dan penahanan upah. ”Jika yang resmi bisa mengalami kekerasan, apalagi yang ilegal,” katanya.

Rekomendasi dari kajian itu ialah mendorong instansi pemerintah lintas sektor agar membuat unit pelayanan satu pintu bagi pekerja migran, mulai dari pelayanan perizinan hingga advokasi jika terjadi pelanggaran HAM. Pemerintah daerah juga didorong agar membuat regulasi perlindungan pekerja migran.

Ikbal, seorang mantan pekerja migran AKP asal Kota Lhokseumawe, memberikan kesaksian bahwa hingga kini sebagian upahnya sebagai pekerja di sebuah kapal berbendera China hingga kini belum dibayar. ”Bekerja tidak sesuai dengan perjanjian. Saya telah melaporkan kepada pemerintah, tetapi tidak ada hasil,” kata Ikbal.

Kepala Ombudsman Perwakilan Aceh Dian Rubianty menuturkan, pengawasan lemah pascapekerja migran AKP berangkat naik ke kapal. Baik perusahaan penyalur maupun instansi pemerintah terkait tidak melakukan pengawasan lagi. Padahal potensi pelanggaran terjadi saat pekerja sudah berada di kapal.

Dian mengatakan, Ombudsman memiliki kewenangan untuk memastikan pelayanan publik diterima dengan baik oleh warga. Jika ada potensi pelanggaran pengurusan dokumen dan surat perizinan, dia berharap pekerja migran melaporkan kepada Ombudsman.

Kepala Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Aceh Sepriady Utama menuturkan, temuan Rumoh Transparansi berpotensi disebut sebagai pelanggaran HAM. Dia meminta para korban (AKP) untuk membuat pengaduan kepada Komnas HAM untuk diadvokasi.

Related Articles

Responses

Your email address will not be published. Required fields are marked *